Kamis, 06 Desember 2012

Sarung dan Kita


”Tekstil merupakan industri pelopor di era Islam,” ungkap Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk Islamic Technology: An Illustrated History. Pada era itu, standar tekstil masyarakat Muslim di Semenajung Arab sangat tinggi. Tak heran, jika industri tekstil di era Islam memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap Barat.
Salah satu produk tekstil yang berkembang di era Islam dan masih bertahan hingga saat ini adalah sarung — kain lebar yang dijahit pada kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti tabung.
Menurut catatan sejarah,  sarung berasal dari Yaman.  Di negeri itu sarung biasa disebut  futah.
Sarung juga dikenal dengan nama  izaar, wazaar atau ma’awis.   Masyarakat di negara Oman menyebut sarung dengan nama  wizaar. Orang Arab Saudi mengenalnya dengan nama  izaar. Penggunaan sarung telah meluas, tak hanya di Semenanjung Arab, namun juga mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa.
Dalam  Ensiklopedia Britanica, disebutkan, sarung telah menjadi pakaian tradisomal masyarakat Yaman. Sarung diyakini telah diproduksi dan digunakan masyarakat tradisional Yaman sejak zaman dulu. Hingga kini, tradisi itu masih tetap melekat kuat. Bahkan,  hingga saat ini,  futah atau sarung Yaman menjadi salah satu oleh-oleh khas tradisional dari Yaman.
Orang-orang yang berkunjung ke Yaman biasanya tidak lupa membeli sarung  sebagai buah tangan bagi para kerabatnya. Sarung awalnya digunakan suku badui yang tinggal di Yaman. Sarung dari Yaman itu berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel yaitu bahan pewarna yang berwarna hitam. Sarung Yaman terdiri dari  beberapa variasi, diantaranya model  assafi, al-kada, dan annaqshah.
Hingga kini,  para pekerja modern di Yaman masih banyak yang menggunakan sarung. Para petugas keamanan di Yaman pun boleh mengenakan sarung sebagai pakaian dinasnya. Orang-orang Yaman tidak menggunakan sarung hingga mata kaki seperti masyarakat Indonesia.
Sarung juga telah menjadi salah satu pakaian penting dalam tradisi Islam di Indonesia. Tradisi menggunakan sarung di Tanah Air tersebar di berabagi wilayah. Pria Muslim di Indonesia biasa menggunakan sarung untuk keperluan ibadah, upacara perkawinan maupun acara adat.
Kain sarung terbuat dari bermacam-macam bahan,  baik berupa katun maupun polister. Sedangkan motifnya bermacam-macam baik garis vertikal, horisontal, maupun kotak-kotak dengan warna yang beraneka ragam seperti merah, biru, hijau, putih, maupun hitam.
Tradisi menggunakan sarung di Indonesia boleh jadi mulai berkembang setelah masuknya ajar Islam yang dibawa para saudagar dari Arab, khususnya Yaman. Sarung juga merupakan pakaian tradisional para nelayan Arab yang berasal dari Teluk persia, Samudera Hindia, maupun Laut Merah sejak dulu. Sarung juga digunakan olah orang-orang Turki sebagai baju tidur pada abad pertengahan.
Sebenarnya di dunia Arab, sarung bukanlah pakaian yang diidentikkan untuk melakukan ibadah seperti sholat. Bahkan di Mesir sarung dianggap tidak pantas  dipakai ke masjid maupun untuk keperluan menghadiri acara-acara formal dan penting lainnya. Di Mesir, sarung berfungsi sebagai   baju tidur yang hanya dipakai saat di kamar tidur.
Di Indonesia, sarung menjadi salah satu pakaian kehormatan dan menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi. Tak heran jika  sebagian masyarakat Indonesia  sering mengenakan sarung untuk sholat di masjid. Laki-laki mengenakan atasan baju koko dan bawahan sarung untuk sholat, begitu pula wanita mengenakan atasan mukena dan bawahan sarung untuk sholat.
Sarung dipakai berbagai kalangan baik anak-anak, remaja, maupun orang tua tidak mengenal ras maupun golongan, baik kaya maupun miskin. Yang jelas, sarung telah menjadi pakaian ciri khas umat Islam Tanah Air. Sarung tak hanya dikenakan kalangan santri pondok pesantren saja, tapi seluruh lapisan masyarakat juga  sudah familiar dan akrab dengan sarung.
Secara teologis, sarung sudah diklaim menjadi salah satu pakaian tradisi Muslim di Indonesia semacam pakaian untuk sholat, pergi ke masjid, pergi tahlilan ke tempat saudara maupun teman yang meninggal, dan memperingati hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Barang kali ada beberapa faktor yang membuat sarung begitu melekat dalam tradisi Islam di Indonesia, antara lain; sarung sangat mudah dipakai dan simpel. Selain itu ukurannya yang panjang mudah untuk menutupi aurat dengan baik. Sarung juga longgar dan tebal sehingga tidak menunjukkan lekuk tubuh pemakainya.
Jika merujuk pada salah satu hadits, penggunaan sarung kemungkinan besar juga sudah dikenal pada  zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini terlihat dalam sebuah Hadits Riwayat Bukhari- Muslim. Dari Sahal bin Saíad dikisahkan bahwa Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita yang berkata, îYa Rasulullah kuserahkan diriku untukmuî.  Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,î Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.î
Rasulullah berkata,î Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? Dia berkata, ìTidak kecuali hanya sarungku iniî. Lalu Rasulullah menjawab, ìBila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu.î Dia berkata, îAku tidak mendapatkan sesuatu pun.î
Rasulullah berkata, îCarilah walau cincin dari besi.î  Pria itu mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Rasulullah berkata lagi, îApakah kamu menghafal Alquran?î  Dia menjawab, îYa surat ini dan ituî sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Rasulullah, îAku menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Alquranmu.î Dari riwayat tersebut, sarung sepertinya telah digunakan sejak zaman Nabi sebagai pakaian untuk menutupi aurat.
Sarung, Simbol Perlawanan Terhadap Kolonialisme
Sarung tampaknya sudah menjadi bagian dari identitas Muslim di Indonesia. Bahkan, sarung juga identik dengan santri yang mondok di pesantren. Mereka  sering disebut sebagai ‘kaum sarungan’. Hampir di semua pesantren tradisional, para santri menggunakan sarung untuk kegiatan belajar mengajar maupun aktivitas sehari-hari.
Sarung juga  telah menjadi simbol perlawanan. Sebagai sebuah wilayah yang mayoritas beragama Islam,  sarung sudah menjadi sebuah simbol perlawanan terhadap negara penjajah Belanda yang terbiasa  menggunakan baju modern seperti jas.
Para santri di zaman kolonial Belanda menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya Barat yang dibawa kaum penjajah. Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung di mana kaum nasionalis abangan telah hampir
meninggalkan sarung.
Itulah yang membuat sarung identik dengan budaya Islam di Nusantara. Sejumlah bukti sejarah juga menunjukkan para aktivis kemerdekaan awal yang berasal dari kalangan santri menggunakan sarung untuk melakukan berbagai macam aktivitas, baik aktivitas kenegaraan maupun ibadah.
Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang Muslim Nusantara yakni KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang tokoh sentral di Nahdhatul Ulama (NU). Abdul Wahab merupakan kiai merdeka , sebab dalam sepanjang sejarah perjuangannya, kiai asal Jombang itu memang cenderung berjiwa bebas, berpendirian merdeka, tidak mudah terpengaruh lingkungan sekeliling.
Suatu ketika, Abdul Wahab pernah diundang Presiden Soekarno. Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.
Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya  di hadapan para penjajah.
Abdul Wahab menunjukkan pentingnya menggunakan sarung sebagai warisan budaya dan identitas nasonalisme. Rupanya perjuangan berat kaum pesantren untuk menegakkan identitas sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya kaum kolonialis Belanda membuah hasil. Saat ini, sarung menjadi simbol kehormatan dan kesopanan yang sering digunakan untuk berbagai macam upacara sakral di tanah air.

Dikutip dari:
http://sarungsapphire.com/v1/sejarah-sarung
Judul asli : Sarung Busana Identitas Muslim

1 komentar:

  1. Ya, sarung menjadi budaya dan juga patut dilestarikan, bahkan diacara seremonial,semisal pernikahan, sarung masih wajib dikenakan ntah itu sbg ciri khas adat istiadat,dsb. Koleksinya banyak ya mas/mbak. Semoga sukses

    BalasHapus